Kucuran air hujan turun dari langit. Di dalam ruangan besar toko buku, aku melihat itu dari jendela kaca besar lantai dua. Jalanan yang setengah jam lalu masih menampakkan mentari terik, kini tertutup awan gelap. Mengeluarkan barisan air langit. Deras. Membuat jalan tampak basah. Orang - orang terlihat sibuk sedemikian rupa. Pedagang kali lima buru - buru menutup dagangannya dengan plastik besar. Pengendara motor berhenti cepat - cepat di bawah jembatan penyebrangan. Berteduh. Mengeluarkan jaket anti air. Ada yang menancapkan gasnya menerobos barisan derasnya hujan, ada pula yang menunggu sampai hujan reda. Para pejalan kaki banyak yang berteduh di halte, di bawah jembatan penyebrangan. Pejalan kaki yang membawa payung. Mengembangkan payung bermacam - macam warna di bawah tetesan hujan. Tapi yang tidak membawa payung pun, empat lima anak mengulurkan jasa. Ojek payung dadakan. Memang akhir - akhir ini hujan menguyur Jakarta. Bukan hanya Ibukota tapi seluruh nusantara. Dalam situasi dimana ada orang lain yang mengumpat tentang hujan. Hatiku berucap untung. Untung sudah sampai disini. Di toko buku ini, yang sejuk tanpa kebasahan. Kalau tidak, nasibku tak ubahnya seperti para pengendara sepeda motor itu. Semenit kemudian, pandanganku kali ini mengarah ke rak - rak buku. Ke tujuanku semula. kenapa berada disini? Apalagi kalau bukan membeli sejumlah buku yang ingin kubaca akhir pekan ini.
Mulailah pencarianku: mencari - cari buku yang hendak kubeli. Saat buku karangan Steven Covey sudah ku dapat. Sepasang mata ini tak sengaja menoleh ke arah kursi pembaca yang memang disediakan oleh toko buku tersebut. Dari deretan kursi itu telihat sesosok wanita yang ku kenal setahun silam. Apa aku tidak salah lihat? Aku mendapatkan untung yang kedua. Gadis berwajah teduh itu. Duduk takdzim sambil membaca. Mengenakan hijau toska yang menutupi seluruh permukaan tubuhnya dengan di balut pashmina putih yang membungkus rambutnya. Tak disangka. Aku bertemunya kembali.
Kenanganku melesat saat setahun silam aku dan ia bertemu. Bukan di toko buku ini. Tapi di kantor tempat aku bekerja dan Camelia, magang di tempat itu. Ya, nama wanita itu Camelia. Terhitung hanya tiga bulan kurang ia menimba ilmu di perusahaan itu. Pertemuanku dengannya begitu singkat. Namun dalam masa singkat itu justru membuat hatiku gelisah tak menentu. Kalau kalian kenal wanita itu, pasti kalian akan suka sosoknya. Wanita baik. Lembut. Enak dijadikan teman ngobrol dan pemberi masukan yang hebat pula. Entah apa aku memang mencintainya. atau menyukainya. Dan tak kupungkiri aku telah membandingkannya dengan wanita yang telah menungguku di rumah. Apakah harus berbagi cinta?
Pernah suatu hari, aku memberanikan diri mengutarakan sesuatu yang selama ini kuragui. Apa salahnya mempunyai cinta lebih dari satu. Hatiku membenarkan. Kejadian itu sampai kapanpun tak pernah bisa ku lupakan.
Dengan maksud mengungkapkan isi hatiku padanya. Aku memintanya menyediakan waktu. Saat jam makan siang kami bertemu.
Aku melihatnya lamat - lamat. Maju mudur aku meneguhkan hati. Ini kesempatan emas.
"Mau bicara apa Pak?" Tanyanya saat lama aku diam terpaku.
"Kau janji tak akan marah."
Wajahnya tanda tanya, setelah ku tanyai kedua kali pertanyaan yang sama. Ia mengangguk walau dengan wajah yang masih tanda tanya. Lantas kuceritakan dengan sedikit kegugupan diawal namun lancar di pertengahan dan akhirnya, tentang apa yang akan kuutarakan padanya: Bagaimana secara diam - diam aku mencintainya. Bahwa aku tahu aku salah mencintainya karena aku seorang pria berstatus suami orang. Bahwa aku selama ini entah kenapa tak bahagia dengan Maida, istriku. Percekcokan kami yang sering. Soal anak yang tak kunjung datang hampir dua tahun pernikahan. Bahkan aku tak sengaja mengeluarkan kata itu pada Camelia. bersediakah Poligami padaku.
Matanya terbelalak. "Kenapa harus dikatakan.... " Lirih suaranya mengucapkan ini. "Tak seharusnya persoalan itu diceritakan , Pak. Masalah keluarga ibarat aurat yang harus ditutupi. Suami menutup aurat istri dan sebaliknya. Istri hendaknya menutup aurat suami.
Wanita yang usianya beda sembilan tahun denganku itu tiba - tiba diam membisu.
"Maaf Camelia. Aku... Aku hanya berusaha jujur padamu. Kalau kau marah itu hakmu?"
"Aku sudah berjanji tak akan marah Pak, Tapi Bapak sudah aku anggap seperti kakakku sendiri." Ia menghela nafas. "Tak ada yang salah jika kita menyukai seseorang. Poligamipun tidak di larang dalam islam. Muhammad mengajarkan soal itu. Itu sunahnya kan. Bukan umat Muhammad ketika kita tidak menjalankan sunahnya." Aku tersenyum.
"Soal Poligami, aku tak anti akan hal itu. Hanya saja, di zaman ini mendengar kata poligami seakan menyakitkan kaum wanita modern. Padahal para pelakunya saja yang salah menafsirkan. Seakan ketika seorang pria memutuskan poligami dalam hidupnya, ia menginginkan istri keduanya yang berusia muda dan cantik pula. Padahal saat Rasulullah dahulu melakukan Poligami. Tidak lebih karena ingin mengangkat derajat kaum wanita. Banyak istri Rasulullah yang berstatus janda dan berusia tua saat Beliau nikahi. Hanya Bunda Aisyah saja yang masih perawan, itupun supaya membentuk Bunda Aisyah jadi wanita hebat pendamping rasul pada akhirnya. Bukan seperti saat ini. Dasarnya mungkin tepat Poligami tapi apakah niatnya sudah benar untuk mengikuti sunah rasul, atau hanya menghalalkan nafsu atas nama Poligami" Aku tertegun.
"Pak, maaf kalau saya lancang menyarankan sesuatu. Cintailah apa yang Bapak miliki sekarang. Komunikasikan semuanya dengan baik. Istri bapak. Siapa namanya? Bu Maida adalah wanita berharga dalam hidup bapak. Yang Bapak pilih dan menambatkan hatinya ke ikatan suci perkawinan. Semoga kelak dari Bu Maida akan lahir anak - anak yang menjadi harapan keluarga. Salam ya."
"Amin. Semoga Allah memberikan seorang pendamping yang setia untukmu" Aku menunduk lemas.
"Insyaallah Pak. Terima kasih doanya. Saya harus kembali bekerja." Ia pamit. Aku memikirkan lamat - lamat kata - katanya soal Poligami barusan.
Kini setahun sudah aku bertemu lagi dengannya. Aku menghampiri deretan kursi yang ia duduki. Ku kira sudah tidak ada lagi rasa setahun silam itu. Sejak saat aku berbincang pada Camelia. Aku meresapi kata - katanya. Ya, ia benar. Yang aku lupa adalah mencintai apa yang aku miliki saat ini. Istriku. Aku terlalu melihat keluar lalu membandingkan ia dengan wanita ini dan itu. Yang ku lihat, Maida dengan segala kekurangannya. Sementara, Wanita itu dengan segala Kelebihannya. Aku meresapi kata - kata Camelia. Aku belajar mencintai milikku. Wanita yang jadi istriku saat ini, Maida. Sekarang aku merasa lebih bahagia.
Camelia kini melihatku. Mataku dan matanya kini beradu.
"Bapak Deka, Ga nyangka kita bertemu disini. Apa kabar Pak?" itu katanya dengan senyum yang sama manisnya saat pertama kali bertemu. Aku duduk di samping kursinya yang masih kosong.
Aku tersenyum. Sedikit canggung. "Baik. lama tak bertemu ya. " Jawabku singkat. "lagi baca buku apa?"
Ia memperlihatkan sampul depan judul buku yang ia baca.
"Apa kabar istri, Pak?"
"Baik, Camelia. Kau tahu? Sekarang kami sudah dianugerahi seorang putra lima bulan yang lalu."
Tergurat gembira dalam raut wajahnya. Seraya mengucapkan selamat dengan tulus.
Kini aku balik bertanya "Kau sudah menikah?"
"Terima kasih doanya waktu itu. Ini hasilnya. Ikatan suci yang harus dijaga dengan setia ya, Pak." Senyumnya kembali merekah, memperlihatkan selingkar cincin di jari manisnya.
***
Malam itu Maida dan aku menatap lamat - lamat bayi mungil kami: Arya yang baru semenit lalu terlelap dalam tempat tidurnya.
"Mas seandainya Arya, tidak ada dalam pernikahan kita di tiga tahun ini. Apa Mas berniat Poligami?"
Pertanyaannya membuat hatiku kebas. Telunjukku seketika mendekat ke bibirnya yang merekah. Lantas meraih tubuhnya dan Mendekap erat istriku. "I love u, Maida" Hanya itu lirihku.