Apa marah ini sudah benar?
"
Jadi Ingat kisah ini.
“Hendak kemana, wahai orang yang dirahmati Allah?”
“Aku hendak menebang pohon yang disembah banyak orang tersebut.” jawab sang ahli ibadah dengan polosnya.
“Apa urusanmu dengan pohon itu? Sesungguhnya Anda telah meninggalkan kesibukan ibadah kepada Allah dan bukankah urusan ini bukan tugas Anda?” ungkap sang kakek. Merasa dihalangi, sang ahli ibadahpun menjawab,
“Tidak! Tugas ini adalah ibadahku juga.”
Akhirnya terjadilah perkelahian antara sang kakek dan ahli ibadah. Kemengan diraih oleh ahli ibadah. Tubuh kakek terkapar di tanah dan dibelenggu oleh ahli ibadah. Kemudian, si kakek tersebut berkata,
“Tolong lepaskan aku. Aku ingin menyampaikan sesuatu.” Maka dilepaslah sang kakek dan berkatalah ia,
“Mengapa Anda melakukan ini? Sesungguhnya Allah telah membebaskan tugas ini dan tidak mewajibkannya untuk Anda, toh Anda sendiri tidak menyembah pohon tersebut. Lalu apa urusan Anda dengan orang lain. Bukankah Allah telah mengutus para nabi di seluruh negeri. Jika Dia berkehendak niscaya akan diangkatnya mereka untuk menghancurkan pohon tersebut.” Sang ahli ibadah tetap tegar seraya berkata,
“Bagaimanapun aku tetap berkewajiban untuk menebangnya!” Akhirnya terjadi perkelahian kedua di antar mereka dan pada akhirnya dimenangkan oleh sang ahli ibadah. Si kakek menyadari bahwa kemenangan ahli ibadah semata-mata karena sang ahli ibadah memiliki senjata yang ampuh, yaitu keikhalasan. Akhirnya ia berpikir untuk membengkokkan niatan dari sang ahli ibadah.
“Sebenarnya aku merasa kasihan terhadap dirimu yang direndahkan oleh rekan-rekanmu karena kemiskinanmu. Bukankah dengan harta, engkau akan mendapatkan kedudukan di hadapan masyarakat? Dengan harta pula, engkau dapat menyantuni fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan.” kata kakek.
“Benar juga apa yang engkau katakan.” jawab sang ahli ibadah yang telah goyah hatinya.
Akhirnya ia pulang dengan hasil negoisasi dengan kakek bahwa sang ahli ibadah akan mendapatkan uang 2 dirham setiap hari dari si kakek sebagai imbalan mengurungkan niatnya untuk menebang pohon tersebut.
Setan tetaplah setan. Hari-hari yang lalu, ia tetap memberi uang namun sekarang tak sepeser pun sang ahli ibadah mendapatkan uang.
Dengan perasaan jengkel dan marah, sang ahli ibadah pergi ke pohon tersebut untuk menumbangkan kembali pohon syirik tersebut.
Di tengah jalan iblis kembali menyerupai kakek-kakek dan kembali menghadang. Perkelahian terjadi kembali namun sang ahli ibadah kalah dan kalah lagi dengan mudahnya. Sang ahli ibadah pun berkata,
“Mengapa aku kalah sekarang, padahal dahulu begitu mudahnya aku mengalahkanmu?”
“Ketahuilah bahwa tempo hari engkau marah dan berniat menghancurkan pohon keramat semata-mata karena mengharapkan ridha Allah, maka dengan mudah kau mengalahkanku. Namun, pada hari ini engkau marah karena harta, maka dengan mudah aku mengalahkanmu.”
"
Apakah marah ini sudah benar?
Ketika hati ini geram tatkala orang lain dengan mudah berpegang tangan yang bukan muhrim
Apa marah ini karena Allah
Atau hawa nafsu karena belum dapat pasangan
Apakah marah ini sudah benar?
Ketika jiwa kesal karena ketidakadilan meraja lela
Apa marah ini karena Allah
atau hanya hawa nafsu karena yang di calonkannya tidak menang dalam pilkada
Dahulu hiduplah seorang ahli ibadah. Ia telah puluhan tahun beribadah kepada Allah dengan rasa ikhlas dan tawadhu. Suatu ketika, datanglah seorang pemuda yang memberitahukan kepadanya bahwa masyarakat di kampungnya telah mengkeramatkan sebuah pohon bahkan sampai menyembahnya. Mendengar hal tersebut, sang ahli ibadah merasa berkewajiban untuk memberantas kemungkaran yang mereka lakukan. Segeralah sang ahli ibadah mengambil kapak untuk menghancurkan pohon tersebut.
Di tengah perjalanan, sang ahli ibadah dihadang oleh syetan yang telah menjelma menjadi seorang kakek tua. Sang kakek berkata,“Hendak kemana, wahai orang yang dirahmati Allah?”
“Aku hendak menebang pohon yang disembah banyak orang tersebut.” jawab sang ahli ibadah dengan polosnya.
“Apa urusanmu dengan pohon itu? Sesungguhnya Anda telah meninggalkan kesibukan ibadah kepada Allah dan bukankah urusan ini bukan tugas Anda?” ungkap sang kakek. Merasa dihalangi, sang ahli ibadahpun menjawab,
“Tidak! Tugas ini adalah ibadahku juga.”
Akhirnya terjadilah perkelahian antara sang kakek dan ahli ibadah. Kemengan diraih oleh ahli ibadah. Tubuh kakek terkapar di tanah dan dibelenggu oleh ahli ibadah. Kemudian, si kakek tersebut berkata,
“Tolong lepaskan aku. Aku ingin menyampaikan sesuatu.” Maka dilepaslah sang kakek dan berkatalah ia,
“Mengapa Anda melakukan ini? Sesungguhnya Allah telah membebaskan tugas ini dan tidak mewajibkannya untuk Anda, toh Anda sendiri tidak menyembah pohon tersebut. Lalu apa urusan Anda dengan orang lain. Bukankah Allah telah mengutus para nabi di seluruh negeri. Jika Dia berkehendak niscaya akan diangkatnya mereka untuk menghancurkan pohon tersebut.” Sang ahli ibadah tetap tegar seraya berkata,
“Bagaimanapun aku tetap berkewajiban untuk menebangnya!” Akhirnya terjadi perkelahian kedua di antar mereka dan pada akhirnya dimenangkan oleh sang ahli ibadah. Si kakek menyadari bahwa kemenangan ahli ibadah semata-mata karena sang ahli ibadah memiliki senjata yang ampuh, yaitu keikhalasan. Akhirnya ia berpikir untuk membengkokkan niatan dari sang ahli ibadah.
“Sebenarnya aku merasa kasihan terhadap dirimu yang direndahkan oleh rekan-rekanmu karena kemiskinanmu. Bukankah dengan harta, engkau akan mendapatkan kedudukan di hadapan masyarakat? Dengan harta pula, engkau dapat menyantuni fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan.” kata kakek.
“Benar juga apa yang engkau katakan.” jawab sang ahli ibadah yang telah goyah hatinya.
Akhirnya ia pulang dengan hasil negoisasi dengan kakek bahwa sang ahli ibadah akan mendapatkan uang 2 dirham setiap hari dari si kakek sebagai imbalan mengurungkan niatnya untuk menebang pohon tersebut.
Setan tetaplah setan. Hari-hari yang lalu, ia tetap memberi uang namun sekarang tak sepeser pun sang ahli ibadah mendapatkan uang.
Dengan perasaan jengkel dan marah, sang ahli ibadah pergi ke pohon tersebut untuk menumbangkan kembali pohon syirik tersebut.
Di tengah jalan iblis kembali menyerupai kakek-kakek dan kembali menghadang. Perkelahian terjadi kembali namun sang ahli ibadah kalah dan kalah lagi dengan mudahnya. Sang ahli ibadah pun berkata,
“Mengapa aku kalah sekarang, padahal dahulu begitu mudahnya aku mengalahkanmu?”
“Ketahuilah bahwa tempo hari engkau marah dan berniat menghancurkan pohon keramat semata-mata karena mengharapkan ridha Allah, maka dengan mudah kau mengalahkanku. Namun, pada hari ini engkau marah karena harta, maka dengan mudah aku mengalahkanmu.”
Jadi apakah marah ini sudah benar?
Dan bukan marah karena ada kepentingan sesuatu yang memuaskan diri sendiri
Hanya karena hawa nafsu
Apakah marah ini sudah benar?
Ketika hati ini geram tatkala orang lain dengan mudah berpegang tangan yang bukan muhrim
Apa marah ini karena Allah
Atau hawa nafsu karena belum dapat pasangan
Apakah marah ini sudah benar?
Ketika jiwa kesal karena ketidakadilan meraja lela
Apa marah ini karena Allah
atau hanya hawa nafsu karena yang di calonkannya tidak menang dalam pilkada
Dahulu hiduplah seorang ahli ibadah. Ia telah puluhan tahun beribadah kepada Allah dengan rasa ikhlas dan tawadhu. Suatu ketika, datanglah seorang pemuda yang memberitahukan kepadanya bahwa masyarakat di kampungnya telah mengkeramatkan sebuah pohon bahkan sampai menyembahnya. Mendengar hal tersebut, sang ahli ibadah merasa berkewajiban untuk memberantas kemungkaran yang mereka lakukan. Segeralah sang ahli ibadah mengambil kapak untuk menghancurkan pohon tersebut.
Di tengah perjalanan, sang ahli ibadah dihadang oleh syetan yang telah menjelma menjadi seorang kakek tua. Sang kakek berkata,“Hendak kemana, wahai orang yang dirahmati Allah?”
“Aku hendak menebang pohon yang disembah banyak orang tersebut.” jawab sang ahli ibadah dengan polosnya.
“Apa urusanmu dengan pohon itu? Sesungguhnya Anda telah meninggalkan kesibukan ibadah kepada Allah dan bukankah urusan ini bukan tugas Anda?” ungkap sang kakek. Merasa dihalangi, sang ahli ibadahpun menjawab,
“Tidak! Tugas ini adalah ibadahku juga.”
Akhirnya terjadilah perkelahian antara sang kakek dan ahli ibadah. Kemengan diraih oleh ahli ibadah. Tubuh kakek terkapar di tanah dan dibelenggu oleh ahli ibadah. Kemudian, si kakek tersebut berkata,
“Tolong lepaskan aku. Aku ingin menyampaikan sesuatu.” Maka dilepaslah sang kakek dan berkatalah ia,
“Mengapa Anda melakukan ini? Sesungguhnya Allah telah membebaskan tugas ini dan tidak mewajibkannya untuk Anda, toh Anda sendiri tidak menyembah pohon tersebut. Lalu apa urusan Anda dengan orang lain. Bukankah Allah telah mengutus para nabi di seluruh negeri. Jika Dia berkehendak niscaya akan diangkatnya mereka untuk menghancurkan pohon tersebut.” Sang ahli ibadah tetap tegar seraya berkata,
“Bagaimanapun aku tetap berkewajiban untuk menebangnya!” Akhirnya terjadi perkelahian kedua di antar mereka dan pada akhirnya dimenangkan oleh sang ahli ibadah. Si kakek menyadari bahwa kemenangan ahli ibadah semata-mata karena sang ahli ibadah memiliki senjata yang ampuh, yaitu keikhalasan. Akhirnya ia berpikir untuk membengkokkan niatan dari sang ahli ibadah.
“Sebenarnya aku merasa kasihan terhadap dirimu yang direndahkan oleh rekan-rekanmu karena kemiskinanmu. Bukankah dengan harta, engkau akan mendapatkan kedudukan di hadapan masyarakat? Dengan harta pula, engkau dapat menyantuni fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan.” kata kakek.
“Benar juga apa yang engkau katakan.” jawab sang ahli ibadah yang telah goyah hatinya.
Akhirnya ia pulang dengan hasil negoisasi dengan kakek bahwa sang ahli ibadah akan mendapatkan uang 2 dirham setiap hari dari si kakek sebagai imbalan mengurungkan niatnya untuk menebang pohon tersebut.
Setan tetaplah setan. Hari-hari yang lalu, ia tetap memberi uang namun sekarang tak sepeser pun sang ahli ibadah mendapatkan uang.
Dengan perasaan jengkel dan marah, sang ahli ibadah pergi ke pohon tersebut untuk menumbangkan kembali pohon syirik tersebut.
Di tengah jalan iblis kembali menyerupai kakek-kakek dan kembali menghadang. Perkelahian terjadi kembali namun sang ahli ibadah kalah dan kalah lagi dengan mudahnya. Sang ahli ibadah pun berkata,
“Mengapa aku kalah sekarang, padahal dahulu begitu mudahnya aku mengalahkanmu?”
“Ketahuilah bahwa tempo hari engkau marah dan berniat menghancurkan pohon keramat semata-mata karena mengharapkan ridha Allah, maka dengan mudah kau mengalahkanku. Namun, pada hari ini engkau marah karena harta, maka dengan mudah aku mengalahkanmu.”
Jadi apakah marah ini sudah benar?
Dan bukan marah karena ada kepentingan sesuatu yang memuaskan diri sendiri
Hanya karena hawa nafsu