Cerita Ringan Sarat Renungan (Episode: Bunda ceritakan aku tentang cinta)
"
Senja telah datang, terlihat sekelompok burung terbang menuju sarang, mungkin rindu ingin pulang. Sama sepertiku, kegiatanku kali ini mengharuskanku baru sampai ke rumah. Setibanya di rumah, nama pertama yang jadi daftar pencarianku siapa lagi kalau bukan Bunda.
Aku melihat Bunda di sela - sela santainya duduk di halaman belakang, sesekali ku lihat Bunda menyeruput teh hangat yang ada di tangan, sesekali juga ia melihat bunga mawar yang tumbuh persis di depannya, di halaman belakang. Menikmati cuaca yang tidak panas lagi gersang. Kakiku melangkah mendekatinya.
"
Senja telah datang, terlihat sekelompok burung terbang menuju sarang, mungkin rindu ingin pulang. Sama sepertiku, kegiatanku kali ini mengharuskanku baru sampai ke rumah. Setibanya di rumah, nama pertama yang jadi daftar pencarianku siapa lagi kalau bukan Bunda.
Aku melihat Bunda di sela - sela santainya duduk di halaman belakang, sesekali ku lihat Bunda menyeruput teh hangat yang ada di tangan, sesekali juga ia melihat bunga mawar yang tumbuh persis di depannya, di halaman belakang. Menikmati cuaca yang tidak panas lagi gersang. Kakiku melangkah mendekatinya.
"Bun.. " Senyumku sambil menyentuh pundaknya.
Ia menyambutku dengan senyum, menyentuh tangan yang kuletakkan di pundaknya dan menyuruhku tuk duduk di sampingnya.
"Sini. Sudah makan de.
"Sudah.. tadi di sekolah Bun. Tumben Bun, sore hari disini, kangen Ayah ya?" Kataku sambil mencandainya.
Yang di becandai tersenyum, terlihat jelas guratan keriput di wajahnya, Bundaku kini tak muda lagi, hampir setengah abad usianya, tapi tetap terlihat cantik mempesona.
"iya kan Bun.. Bunda kangen ayah"
Matanya berkaca - kaca, kepalanya mengangguk - angguk.
"Bun.. apa kangen itu perasaan cinta" Ucapku sambil menatap bunga mawar yang rupawan
"Bisa jadi, menurutmu?" matanya terbelalak mengarahku, matanya seakan bicara apa pula yang aku sampaikan, tak biasanya aku menanyakan cinta padanya.Aku tak menjawab. Lantas ku tanyai pertanyaan kembali padanya, "Bagaimana Bunda dan Ayah bertemu?"
Pipinya memerah. Tersenyum tersipu malu, seperti anak ABG yang baru menjalin asmara saja.
"Ayolah.. Bunda, ceritakan aku tentang cinta" paksaku pada Bunda
"Kau mau tahu Nak.." Hembusan nafasnya terdengar, lantas melanjutkan ucapannya, "Mungkin sama seperti yang lainya, Kita bertemu, kenal beberapa bulan saja lantas memutuskan untuk menikah. Begitulah! Tak ada yang namanya proses berlama - lama menjalin cinta."
Aku terdiam
"kau tahu tidak nak, ayahmu pernah cerita pada Bunda, pertama kali kenal sama Bunda, ia sulit untuk mengungkapkan rasa itu, katanya dia sudah kenal Bunda, kenal karena sering melihat saja tanpa tegur sapa. Sampai - sampai dia mengaku sudah lama merindukan Bunda, padahal kata ayahmu ia tidak tahu siapa Bunda, kenal resmi juga tidak. Itu hal gila katanya.
"Bun... emm... bunda sebelum menikah... de.. de.. dengan Ayah pernah ada rindu juga" terbata - bata aku mengucapnya
"Pernah manis.. dan itu wajar, hanya saja pintar - pintar Bunda untuk mengendalikan itu. Lagipula Bunda tak mau ayahmu kegeeran.Itu lebih baik, karena waktu itu status kita hanya perkenalan, belum ada ikatan resmi."
"Ayah lucu ya Bun.. Rindu pada orang yang tak dikenal, ke.. kenapa?" bibiku terbata - bata lagi mengucapnya
"sebuah perasaan kadang hadir meski tanpa diundang nak, ya Ayahmu rindu yang tersimpan, tapi Bunda salut pada ayahmu karena rindunya tak diumbar sebelum kita resmi ke pelaminan, kalau saja itu di umbar, wah bisa bahaya juga, kau tahu kan tentang bahaya hati?"
Bunda mengambil cangkir tehnya, menyeruput lantas meletakkannya kembali diatas meja yang terbuat dari bambu. Bibirnya mengeluarkan kata, "Cinta dan rindu"
Raut Bunda membaca wajahku, ia seakan tahu apa yang tersirat dalam benakku. Benar saja.. seakan ia menyadari akan hal itu.
"Anak Bunda sudah terlihat besar ya.. Jika kelak nanti kau memperoleh cinta jangan terlalu memujanya melebihi pemujaanMu. Jika rindu itu menghampirimu, rasakan saja, itu lumrah, namun jangan terlena dibuatnya, kau yang mengendalikan, jangan hawa nafsu yang mengarahkanmu. kau lihat itu nak, "mata dan tangannya menunjuk ke arah bunga mawar.
"jadilah sepertinya.Wangi namun jangan lupa punya perlindungan, tak mudah sembarang orang memetiknya, salah - salah mereka akan terkena duri tajamnya. Kau tahu nak menjadi perempuan bisa jadi sumber bencana atau bisa jadi sumber bahagia bagi pria. Untuk ini, lambat laun kau sendiri yang akan mengetahuinya kelak."
Aku menoleh padanya lantas tersenyum. sejujurnya aku ingin menangis mendengar kalimat itu, tapi urung kulakukan, mataku terlihat berkaca, ku pandang saja ke atas langit agar tak meneteskan air mata.
"Dinda, Bunda... tak selamanya menjaga kau. Ada kekhawatiran Bunda padamu, pada anak perempuan Bunda, mungkin kekhawatiran ini juga menimpa keluarga yang mempunyai anak perempuan."
Bunda beberapa detik tersentak diam. Aku masih menunggunya mengeluarkan kata - kata dan hatiku bertanya, khawatir? tentang apa?!
"Kekhawatiran itu adalah free sexs, hamil di luar nikah, entah apa lagi macamnya. Yang harus kau sadari, yang rugi siapa? P-E-R-E-M-P-U-A-N. Pandai - pandai saja menjaga diri. "
Aku masih lekat - lekat menatapnya.
"Nak, kau tahu Bunda tak selamanya menjaga kau? tak selamanya bunda mengawasi kau. Kau yang bertanggung jawab terhadap diri kau. Bunda yakin kau anak yang baik. Suatu saat kau akan menemukan seseorang yang baik untukmu yang diperoleh dariNya."
Bunda menepuk pundakku, kali ini aku tak bisa menahan diri, air mata ini jatuh begitu saja.
Yang di becandai tersenyum, terlihat jelas guratan keriput di wajahnya, Bundaku kini tak muda lagi, hampir setengah abad usianya, tapi tetap terlihat cantik mempesona.
"iya kan Bun.. Bunda kangen ayah"
Matanya berkaca - kaca, kepalanya mengangguk - angguk.
"Bun.. apa kangen itu perasaan cinta" Ucapku sambil menatap bunga mawar yang rupawan
"Bisa jadi, menurutmu?" matanya terbelalak mengarahku, matanya seakan bicara apa pula yang aku sampaikan, tak biasanya aku menanyakan cinta padanya.Aku tak menjawab. Lantas ku tanyai pertanyaan kembali padanya, "Bagaimana Bunda dan Ayah bertemu?"
Pipinya memerah. Tersenyum tersipu malu, seperti anak ABG yang baru menjalin asmara saja.
"Ayolah.. Bunda, ceritakan aku tentang cinta" paksaku pada Bunda
"Kau mau tahu Nak.." Hembusan nafasnya terdengar, lantas melanjutkan ucapannya, "Mungkin sama seperti yang lainya, Kita bertemu, kenal beberapa bulan saja lantas memutuskan untuk menikah. Begitulah! Tak ada yang namanya proses berlama - lama menjalin cinta."
Aku terdiam
"kau tahu tidak nak, ayahmu pernah cerita pada Bunda, pertama kali kenal sama Bunda, ia sulit untuk mengungkapkan rasa itu, katanya dia sudah kenal Bunda, kenal karena sering melihat saja tanpa tegur sapa. Sampai - sampai dia mengaku sudah lama merindukan Bunda, padahal kata ayahmu ia tidak tahu siapa Bunda, kenal resmi juga tidak. Itu hal gila katanya.
"Bun... emm... bunda sebelum menikah... de.. de.. dengan Ayah pernah ada rindu juga" terbata - bata aku mengucapnya
"Pernah manis.. dan itu wajar, hanya saja pintar - pintar Bunda untuk mengendalikan itu. Lagipula Bunda tak mau ayahmu kegeeran.Itu lebih baik, karena waktu itu status kita hanya perkenalan, belum ada ikatan resmi."
"Ayah lucu ya Bun.. Rindu pada orang yang tak dikenal, ke.. kenapa?" bibiku terbata - bata lagi mengucapnya
"sebuah perasaan kadang hadir meski tanpa diundang nak, ya Ayahmu rindu yang tersimpan, tapi Bunda salut pada ayahmu karena rindunya tak diumbar sebelum kita resmi ke pelaminan, kalau saja itu di umbar, wah bisa bahaya juga, kau tahu kan tentang bahaya hati?"
Bunda mengambil cangkir tehnya, menyeruput lantas meletakkannya kembali diatas meja yang terbuat dari bambu. Bibirnya mengeluarkan kata, "Cinta dan rindu"
Raut Bunda membaca wajahku, ia seakan tahu apa yang tersirat dalam benakku. Benar saja.. seakan ia menyadari akan hal itu.
"Anak Bunda sudah terlihat besar ya.. Jika kelak nanti kau memperoleh cinta jangan terlalu memujanya melebihi pemujaanMu. Jika rindu itu menghampirimu, rasakan saja, itu lumrah, namun jangan terlena dibuatnya, kau yang mengendalikan, jangan hawa nafsu yang mengarahkanmu. kau lihat itu nak, "mata dan tangannya menunjuk ke arah bunga mawar.
"jadilah sepertinya.Wangi namun jangan lupa punya perlindungan, tak mudah sembarang orang memetiknya, salah - salah mereka akan terkena duri tajamnya. Kau tahu nak menjadi perempuan bisa jadi sumber bencana atau bisa jadi sumber bahagia bagi pria. Untuk ini, lambat laun kau sendiri yang akan mengetahuinya kelak."
Aku menoleh padanya lantas tersenyum. sejujurnya aku ingin menangis mendengar kalimat itu, tapi urung kulakukan, mataku terlihat berkaca, ku pandang saja ke atas langit agar tak meneteskan air mata.
"Dinda, Bunda... tak selamanya menjaga kau. Ada kekhawatiran Bunda padamu, pada anak perempuan Bunda, mungkin kekhawatiran ini juga menimpa keluarga yang mempunyai anak perempuan."
Bunda beberapa detik tersentak diam. Aku masih menunggunya mengeluarkan kata - kata dan hatiku bertanya, khawatir? tentang apa?!
"Kekhawatiran itu adalah free sexs, hamil di luar nikah, entah apa lagi macamnya. Yang harus kau sadari, yang rugi siapa? P-E-R-E-M-P-U-A-N. Pandai - pandai saja menjaga diri. "
Aku masih lekat - lekat menatapnya.
"Nak, kau tahu Bunda tak selamanya menjaga kau? tak selamanya bunda mengawasi kau. Kau yang bertanggung jawab terhadap diri kau. Bunda yakin kau anak yang baik. Suatu saat kau akan menemukan seseorang yang baik untukmu yang diperoleh dariNya."
Bunda menepuk pundakku, kali ini aku tak bisa menahan diri, air mata ini jatuh begitu saja.
Senja telah datang, terlihat sekelompok burung terbang menuju sarang, mungkin rindu ingin pulang. Sama sepertiku, kegiatanku kali ini mengharuskanku baru sampai ke rumah. Setibanya di rumah, nama pertama yang jadi daftar pencarianku siapa lagi kalau bukan Bunda.
Aku melihat Bunda di sela - sela santainya duduk di halaman belakang, sesekali ku lihat Bunda menyeruput teh hangat yang ada di tangan, sesekali juga ia melihat bunga mawar yang tumbuh persis di depannya, di halaman belakang. Menikmati cuaca yang tidak panas lagi gersang. Kakiku melangkah mendekatinya.
"Bun.. " Senyumku sambil menyentuh pundaknya.
Ia menyambutku dengan senyum, menyentuh tangan yang kuletakkan di pundaknya dan menyuruhku tuk duduk di sampingnya.
"Sini. Sudah makan de.
"Sudah.. tadi di sekolah Bun. Tumben Bun, sore hari disini, kangen Ayah ya?" Kataku sambil mencandainya.
Yang di becandai tersenyum, terlihat jelas guratan keriput di wajahnya, Bundaku kini tak muda lagi, hampir setengah abad usianya, tapi tetap terlihat cantik mempesona.
"iya kan Bun.. Bunda kangen ayah"
Matanya berkaca - kaca, kepalanya mengangguk - angguk.
"Bun.. apa kangen itu perasaan cinta" Ucapku sambil menatap bunga mawar yang rupawan
"Bisa jadi, menurutmu?" matanya terbelalak mengarahku, matanya seakan bicara apa pula yang aku sampaikan, tak biasanya aku menanyakan cinta padanya.Aku tak menjawab. Lantas ku tanyai pertanyaan kembali padanya, "Bagaimana Bunda dan Ayah bertemu?"
Pipinya memerah. Tersenyum tersipu malu, seperti anak ABG yang baru menjalin asmara saja.
"Ayolah.. Bunda, ceritakan aku tentang cinta" paksaku pada Bunda
"Kau mau tahu Nak.." Hembusan nafasnya terdengar, lantas melanjutkan ucapannya, "Mungkin sama seperti yang lainya, Kita bertemu, kenal beberapa bulan saja lantas memutuskan untuk menikah. Begitulah! Tak ada yang namanya proses berlama - lama menjalin cinta."
Aku terdiam
"kau tahu tidak nak, ayahmu pernah cerita pada Bunda, pertama kali kenal sama Bunda, ia sulit untuk mengungkapkan rasa itu, katanya dia sudah kenal Bunda, kenal karena sering melihat saja tanpa tegur sapa. Sampai - sampai dia mengaku sudah lama merindukan Bunda, padahal kata ayahmu ia tidak tahu siapa Bunda, kenal resmi juga tidak. Itu hal gila katanya.
"Bun... emm... bunda sebelum menikah... de.. de.. dengan Ayah pernah ada rindu juga" terbata - bata aku mengucapnya
"Pernah manis.. dan itu wajar, hanya saja pintar - pintar Bunda untuk mengendalikan itu. Lagipula Bunda tak mau ayahmu kegeeran.Itu lebih baik, karena waktu itu status kita hanya perkenalan, belum ada ikatan resmi."
"Ayah lucu ya Bun.. Rindu pada orang yang tak dikenal, ke.. kenapa?" bibiku terbata - bata lagi mengucapnya
"sebuah perasaan kadang hadir meski tanpa diundang nak, ya Ayahmu rindu yang tersimpan, tapi Bunda salut pada ayahmu karena rindunya tak diumbar sebelum kita resmi ke pelaminan, kalau saja itu di umbar, wah bisa bahaya juga, kau tahu kan tentang bahaya hati?"
Bunda mengambil cangkir tehnya, menyeruput lantas meletakkannya kembali diatas meja yang terbuat dari bambu. Bibirnya mengeluarkan kata, "Cinta dan rindu"
Raut Bunda membaca wajahku, ia seakan tahu apa yang tersirat dalam benakku. Benar saja.. seakan ia menyadari akan hal itu.
"Anak Bunda sudah terlihat besar ya.. Jika kelak nanti kau memperoleh cinta jangan terlalu memujanya melebihi pemujaanMu. Jika rindu itu menghampirimu, rasakan saja, itu lumrah, namun jangan terlena dibuatnya, kau yang mengendalikan, jangan hawa nafsu yang mengarahkanmu. kau lihat itu nak, "mata dan tangannya menunjuk ke arah bunga mawar.
"jadilah sepertinya.Wangi namun jangan lupa punya perlindungan, tak mudah sembarang orang memetiknya, salah - salah mereka akan terkena duri tajamnya. Kau tahu nak menjadi perempuan bisa jadi sumber bencana atau bisa jadi sumber bahagia bagi pria. Untuk ini, lambat laun kau sendiri yang akan mengetahuinya kelak."
Aku menoleh padanya lantas tersenyum. sejujurnya aku ingin menangis mendengar kalimat itu, tapi urung kulakukan, mataku terlihat berkaca, ku pandang saja ke atas langit agar tak meneteskan air mata.
"Dinda, Bunda... tak selamanya menjaga kau. Ada kekhawatiran Bunda padamu, pada anak perempuan Bunda, mungkin kekhawatiran ini juga menimpa keluarga yang mempunyai anak perempuan."
Bunda beberapa detik tersentak diam. Aku masih menunggunya mengeluarkan kata - kata dan hatiku bertanya, khawatir? tentang apa?!
"Kekhawatiran itu adalah free sexs, hamil di luar nikah, entah apa lagi macamnya. Yang harus kau sadari, yang rugi siapa? P-E-R-E-M-P-U-A-N. Pandai - pandai saja menjaga diri. "
Aku masih lekat - lekat menatapnya.
"Nak, kau tahu Bunda tak selamanya menjaga kau? tak selamanya bunda mengawasi kau. Kau yang bertanggung jawab terhadap diri kau. Bunda yakin kau anak yang baik. Suatu saat kau akan menemukan seseorang yang baik untukmu yang diperoleh dariNya."
Bunda menepuk pundakku, kali ini aku tak bisa menahan diri, air mata ini jatuh begitu saja.
Yang di becandai tersenyum, terlihat jelas guratan keriput di wajahnya, Bundaku kini tak muda lagi, hampir setengah abad usianya, tapi tetap terlihat cantik mempesona.
"iya kan Bun.. Bunda kangen ayah"
Matanya berkaca - kaca, kepalanya mengangguk - angguk.
"Bun.. apa kangen itu perasaan cinta" Ucapku sambil menatap bunga mawar yang rupawan
"Bisa jadi, menurutmu?" matanya terbelalak mengarahku, matanya seakan bicara apa pula yang aku sampaikan, tak biasanya aku menanyakan cinta padanya.Aku tak menjawab. Lantas ku tanyai pertanyaan kembali padanya, "Bagaimana Bunda dan Ayah bertemu?"
Pipinya memerah. Tersenyum tersipu malu, seperti anak ABG yang baru menjalin asmara saja.
"Ayolah.. Bunda, ceritakan aku tentang cinta" paksaku pada Bunda
"Kau mau tahu Nak.." Hembusan nafasnya terdengar, lantas melanjutkan ucapannya, "Mungkin sama seperti yang lainya, Kita bertemu, kenal beberapa bulan saja lantas memutuskan untuk menikah. Begitulah! Tak ada yang namanya proses berlama - lama menjalin cinta."
Aku terdiam
"kau tahu tidak nak, ayahmu pernah cerita pada Bunda, pertama kali kenal sama Bunda, ia sulit untuk mengungkapkan rasa itu, katanya dia sudah kenal Bunda, kenal karena sering melihat saja tanpa tegur sapa. Sampai - sampai dia mengaku sudah lama merindukan Bunda, padahal kata ayahmu ia tidak tahu siapa Bunda, kenal resmi juga tidak. Itu hal gila katanya.
"Bun... emm... bunda sebelum menikah... de.. de.. dengan Ayah pernah ada rindu juga" terbata - bata aku mengucapnya
"Pernah manis.. dan itu wajar, hanya saja pintar - pintar Bunda untuk mengendalikan itu. Lagipula Bunda tak mau ayahmu kegeeran.Itu lebih baik, karena waktu itu status kita hanya perkenalan, belum ada ikatan resmi."
"Ayah lucu ya Bun.. Rindu pada orang yang tak dikenal, ke.. kenapa?" bibiku terbata - bata lagi mengucapnya
"sebuah perasaan kadang hadir meski tanpa diundang nak, ya Ayahmu rindu yang tersimpan, tapi Bunda salut pada ayahmu karena rindunya tak diumbar sebelum kita resmi ke pelaminan, kalau saja itu di umbar, wah bisa bahaya juga, kau tahu kan tentang bahaya hati?"
Bunda mengambil cangkir tehnya, menyeruput lantas meletakkannya kembali diatas meja yang terbuat dari bambu. Bibirnya mengeluarkan kata, "Cinta dan rindu"
Raut Bunda membaca wajahku, ia seakan tahu apa yang tersirat dalam benakku. Benar saja.. seakan ia menyadari akan hal itu.
"Anak Bunda sudah terlihat besar ya.. Jika kelak nanti kau memperoleh cinta jangan terlalu memujanya melebihi pemujaanMu. Jika rindu itu menghampirimu, rasakan saja, itu lumrah, namun jangan terlena dibuatnya, kau yang mengendalikan, jangan hawa nafsu yang mengarahkanmu. kau lihat itu nak, "mata dan tangannya menunjuk ke arah bunga mawar.
"jadilah sepertinya.Wangi namun jangan lupa punya perlindungan, tak mudah sembarang orang memetiknya, salah - salah mereka akan terkena duri tajamnya. Kau tahu nak menjadi perempuan bisa jadi sumber bencana atau bisa jadi sumber bahagia bagi pria. Untuk ini, lambat laun kau sendiri yang akan mengetahuinya kelak."
Aku menoleh padanya lantas tersenyum. sejujurnya aku ingin menangis mendengar kalimat itu, tapi urung kulakukan, mataku terlihat berkaca, ku pandang saja ke atas langit agar tak meneteskan air mata.
"Dinda, Bunda... tak selamanya menjaga kau. Ada kekhawatiran Bunda padamu, pada anak perempuan Bunda, mungkin kekhawatiran ini juga menimpa keluarga yang mempunyai anak perempuan."
Bunda beberapa detik tersentak diam. Aku masih menunggunya mengeluarkan kata - kata dan hatiku bertanya, khawatir? tentang apa?!
"Kekhawatiran itu adalah free sexs, hamil di luar nikah, entah apa lagi macamnya. Yang harus kau sadari, yang rugi siapa? P-E-R-E-M-P-U-A-N. Pandai - pandai saja menjaga diri. "
Aku masih lekat - lekat menatapnya.
"Nak, kau tahu Bunda tak selamanya menjaga kau? tak selamanya bunda mengawasi kau. Kau yang bertanggung jawab terhadap diri kau. Bunda yakin kau anak yang baik. Suatu saat kau akan menemukan seseorang yang baik untukmu yang diperoleh dariNya."
Bunda menepuk pundakku, kali ini aku tak bisa menahan diri, air mata ini jatuh begitu saja.
0 komentar:
Posting Komentar