Untitled
"
"
Dia datang. Kali ini entah apa yang ingin dia katakan. Nafasku turun naik. Ataukah ingin mengatakan hal yang sama sebagai sebuah penegasan. Entahlah. Dia. Memasang muka kesatria menuruni kendaraan roda duanya. Langkahnya berjalan menemuiku yang duduk di kursi panjang tua dekat danau. Hanya dalam beberapa detik. Ia tepat di hadapanku. Matanya seperti dulu. Tajam, Menyejukkan.
Aku memulai lebih dulu percakapan. Tersenyum, percakapan basa - basi menanyakan tentang kabar. Agak kikuk memang, sepersekian detik lebih mencair, lebih mengalir. Dan ia yang lebih dahulu memulai percakapan yang serius itu setelah tak sengaja ku senggol soal pesan yang ia kirim ke nomor pribadiku.
“Kalau hanya
suka saja buat apa? Aku lebih perlu kau tuk hadir bersama. Bersama dalam kehidupanku kelak.” Itu katanya dengan
suara amat meyakinkan.
Dadaku mendesir. Perempuan
mana yang tak luluh hatinya saat di hujam kata - kata surgawi itu. Ish. Memang pandai sang adam.
Seperti
bisa menebak isi otakku. Seorang yang mahir membaca pikiran. Sejurus kemudian ia mengatakan sesuatu, “kalau kau
pikir itu rayuan gombal atau hanya bualan. Tidak Aina, kau salah.” Ia terus
menyakinkan.
Mataku
menatap tajam. Masih keras kepala di depannya. Sama keras kepalanya seperti dia
yang mengatakan itu. Tak mau kalah.
“Kau tahu
kalau kau mau aku melakukan adegan romantis bak film drama yang kau dan aku tonton, aku bisa - adegan menceburkan diri di danau saat sang lelaki meminta sebuah kepastian dari sang wanitanya atau apalah. “Tertawa ku dalam batin
atas kata – katanya --Itu konyol. "Tapi tidak.... itu takkan kulakukan, Aina. Bukan!
Bukan karena aku tidak suka kau. Bukan karena aku tak ingin berkorban, atau pun aku seorang pengecut. Itu cinta mereka, Aina. Biarlah mereka melakukan itu. Cinta mereka tidak sama dengan cintaku terhadap wanita anggun yang ada di hadapanku. Cinta bukan itu. Pengorbanan cinta bukan itu; yang menyayat nadinya, yang menyeburkan diri di kolam, atau menghempaskan diri dari atas gedung lantai 15. Itu kebodohan.” Ia menghela nafas, "Aku rela meninggal demi kau. itu omong kosong, tipuan dari lelaki pencari nafsu, padahal sejurus kemudian mereka melakukan yang sama dengan wanita lainnya. Aku berkata serius, Aku juga rela meninggal.... tapi aku tidak sama dengan lelaki itu, ....meninggalkan seluruh kedukaanku untuk menjadikan kau bahagia bersamaku.
Hufh. Dia
membumbungkan lagi sejurus rayuannya. Sial. Tembok pertahananku hampir luruh.
Tetapi wajah ini masih saja datar. Ia terus mengoceh.
“Kau
tahu.. aku perlu kau saat ini. Kau mimpiku” kali ini ia berkata dengan nada lebih datar. Terdengar
serak.
“... dan
ketika kau tak perlu aku, kau akan pergi. Meninggalkan mimpimu. Mengejar mimpi lain yang lebih indah di luar sana. Seperti tahun sebelumnya..... Atau sama seperti pria - pria brengksek itu"Aku menyeka bulir - bulir di sudut mata.
Ia diam.
Tidak bergeming.
Sepersekian
detik kemudian berkata, “Maafkan aku, Aina. Dulu dan saat ini, yang ku tahu, dalam cintamu membangkitkan
semangatku seperti hamka dalam syairnya. Moga untuk selamanya" Bertekuk lutut sambil tangannya memperlihatkan sepasang cincin bermata ungu.
Gantian
aku yang bergeming. Tak terdengar lagi kicauan burung yang merdu atau desiran angin yang menerpa. Yang terdengar hanya suaranya.
***
Dia datang. Kali ini entah apa yang ingin dia katakan. Nafasku turun naik. Ataukah ingin mengatakan hal yang sama sebagai sebuah penegasan. Entahlah. Dia. Memasang muka kesatria menuruni kendaraan roda duanya. Langkahnya berjalan menemuiku yang duduk di kursi panjang tua dekat danau. Hanya dalam beberapa detik. Ia tepat di hadapanku. Matanya seperti dulu. Tajam, Menyejukkan.
Aku memulai lebih dulu percakapan. Tersenyum, percakapan basa - basi menanyakan tentang kabar. Agak kikuk memang, sepersekian detik lebih mencair, lebih mengalir. Dan ia yang lebih dahulu memulai percakapan yang serius itu setelah tak sengaja ku senggol soal pesan yang ia kirim ke nomor pribadiku.
“Kalau hanya
suka saja buat apa? Aku lebih perlu kau tuk hadir bersama. Bersama dalam kehidupanku kelak.” Itu katanya dengan
suara amat meyakinkan.
Dadaku mendesir. Perempuan
mana yang tak luluh hatinya saat di hujam kata - kata surgawi itu. Ish. Memang pandai sang adam.
Seperti
bisa menebak isi otakku. Seorang yang mahir membaca pikiran. Sejurus kemudian ia mengatakan sesuatu, “kalau kau
pikir itu rayuan gombal atau hanya bualan. Tidak Aina, kau salah.” Ia terus
menyakinkan.
Mataku
menatap tajam. Masih keras kepala di depannya. Sama keras kepalanya seperti dia
yang mengatakan itu. Tak mau kalah.
“Kau tahu
kalau kau mau aku melakukan adegan romantis bak film drama yang kau dan aku tonton, aku bisa - adegan menceburkan diri di danau saat sang lelaki meminta sebuah kepastian dari sang wanitanya atau apalah. “Tertawa ku dalam batin
atas kata – katanya --Itu konyol. "Tapi tidak.... itu takkan kulakukan, Aina. Bukan!
Bukan karena aku tidak suka kau. Bukan karena aku tak ingin berkorban, atau pun aku seorang pengecut. Itu cinta mereka, Aina. Biarlah mereka melakukan itu. Cinta mereka tidak sama dengan cintaku terhadap wanita anggun yang ada di hadapanku. Cinta bukan itu. Pengorbanan cinta bukan itu; yang menyayat nadinya, yang menyeburkan diri di kolam, atau menghempaskan diri dari atas gedung lantai 15. Itu kebodohan.” Ia menghela nafas, "Aku rela meninggal demi kau. itu omong kosong, tipuan dari lelaki pencari nafsu, padahal sejurus kemudian mereka melakukan yang sama dengan wanita lainnya. Aku berkata serius, Aku juga rela meninggal.... tapi aku tidak sama dengan lelaki itu, ....meninggalkan seluruh kedukaanku untuk menjadikan kau bahagia bersamaku.
Hufh. Dia
membumbungkan lagi sejurus rayuannya. Sial. Tembok pertahananku hampir luruh.
Tetapi wajah ini masih saja datar. Ia terus mengoceh.
“Kau
tahu.. aku perlu kau saat ini. Kau mimpiku” kali ini ia berkata dengan nada lebih datar. Terdengar
serak.
“... dan
ketika kau tak perlu aku, kau akan pergi. Meninggalkan mimpimu. Mengejar mimpi lain yang lebih indah di luar sana. Seperti tahun sebelumnya..... Atau sama seperti pria - pria brengksek itu"Aku menyeka bulir - bulir di sudut mata.
Ia diam.
Tidak bergeming.
Sepersekian
detik kemudian berkata, “Maafkan aku, Aina. Dulu dan saat ini, yang ku tahu, dalam cintamu membangkitkan
semangatku seperti hamka dalam syairnya. Moga untuk selamanya" Bertekuk lutut sambil tangannya memperlihatkan sepasang cincin bermata ungu.
Gantian
aku yang bergeming. Tak terdengar lagi kicauan burung yang merdu atau desiran angin yang menerpa. Yang terdengar hanya suaranya.
***